Cari Blog Ini
Selasa, 29 November 2011
Pemberdayaan Masyarakat
BUDIDAYA BUAH DURIAN SEBAGAI ALTERNATIF MATA PENCAHARIAN DALAM UPAYA PENINGKATAN PEREKONOMIAN MASYARAKAT DESA BANGKONG.
Menurut Linton (dalam Harwantiyoko, dkk., 1993:4) masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang tclah hidup dan bekerja bersama cukup lama schingga mereka dapat mcngatur diri mereka sendiri sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang jelas.
Menurut Mac Iver dan Page (dalam Harwantiyoko, dkk., 1993:4) bahwa masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara dari wewenang sella kerjasama antara berbagai kelompok dan pengolongan, dari pegawasan tingkah laku serta kebebasan-kebebasan manusia.
Menurut Harwantiyoko, dkk. (1993:5) masyarakat mempunyai 3 ciri-ciri pokok yaitu:
a. Manusia yang hidup bersama.
b. Bergaul selama jangka waktu yang cukup lama.
c. Adanya kesadaran bahwa setiap manusia mempakan bagian dari suatu kesatuan.
Masyarakat dalam bahasa lnggris adalah society yang berasal dari bahasa latin socius berarti kawan. Sedangkan istilah masyarakat berasal dari bahasa Arab, Syaraka yang berarti lkut serta berpartisipasi. Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul atau berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Koentjaraningrat, 2000:143-146).
Masyarakat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sekelompok orang yang memiliki perasaan yang sama atau menyatu satu sama lain karena mereka saling berbagi identitas. kepentingan-kepentingan yang sama. perasaan memiliki dan biasanya satu tempat yang sama. Masyarakat yang tinggal di Bangkong termasuk dalam masyarakat desa. Kehidupan mereka masih sangatlah jauh dari kehidupan modern saat ini. Dilihat dari tempat, keeadaan masyarakat Bangkong sendiri masih minim akan pendidikan sehingga sangatlah berpengaruh dalam kehidupan ekonominya. Telah kita ketahui bahwa ketika pendidikan masyarakat rendah maka pendapatannya pun juga rendah karena pada umumnya pekerjaan saat ini sangatlah dipengaruhi oleh pendidikan.
Pada umumnya, masayarakat Bangkong bermatapencaharian sebagai buruh. Misalnya saja bekerja sebagai Cleanning Service, pekerja bangunan (kuli), dan pekerja konveksi. Bagi mereka yang bekerja sebagai cleaning service dan kuli bangunan itupun hanya bisa di dapat dari lingkungan sekitar tempat tinggalnya yaitu daerah perkuliahan (UNNES). Hal ini membuktikan bahwa masyarakat Bangkong menghadapi kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan dilihat dari tingkat pendidikan dan akses menuju kapung tersebut.
Faktor lain yang menyebabkan masayarakat Bangkong sulit untuk berkembang adalah karena akses menuju ke luar daerah Bangkong kurang memadai dan sulitnya transportasi untuk menuju desa tersebut. Kondisi jalan yang terjal dan curam membuat semakin sulitnya masyarakat untuk dapat berbagi informasi dengan masyarakat di luar daerah Bangkong. Jauhnya sekolah-sekolah dari daerah Bangkong menyebabkan mereka malas untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Rata-rata masyarakat Bangkong menempuh pendidikan hanya sampai jenjang SMP dan tidak melanjutkan kejenjang SMA yang tempatnya jauh, sehingga mereka tidak dapat melanjutkan keperguruan tinggi, padahal perguruan tinggi UNNES sangat dekat dengan desa tersebut. Untuk itu masyarakat Bangkong perlu diberdayakan dalam hal perekonomiannya
Hal lain yang membuat peneliti tertarik untuk melakukan peneitian di desa Bangkong adalah, keadaan fisik desa tersebut yaitu masih banyak lahan atau tanahnya yang subur. Tetapi lahan tersebut tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh para penduduknya. Melihat kenyataan seperti yang telah disebutkan, maka peneliti merasa tertarik untuk memberdayakan lahan tersebut agar ditanami tumbuhan-tumbuhan yang sangat bermanfaat dan dapat membantu meningkatkan perekonomian msyarakat sekitar desa Bangkong.
Dalam hal ini, peneliti tidak hanya memberikan arahan saja atau sebatas pemberian modal. Peneliti disini juga ikut berpartisipasi dalam penanaman awal kepada para penduduk agar mereka menjadi termotivasi untuk membudidayakan tanaman yang menjadi rencana peneliti. Tanaman tersebut adalah buah durian dimana buah tersebut dapat dibudidayakan oleh masyarakat anpa mengganggu pekerjaan utama mereka. Hal ini kami ungkapkan karena buah durian tidak memerlukan perawatan ekstra dan bisa dijadikan sebagai pekerjaan sampingan selain sebagai cleanning service.
Dari latar belakang yang ada di atas, maka peneliti tertarik untuk membuat proposal peneitian dengan judul “Budidaya Buah Durian Sebagai Alternatif Mata Pencaharian dalam Upaya Peningkatan Perekonomian Masyarakat Desa Bangkong”.
RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang yang ada di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah:
1. Bagaimana perekonomian masyarakat Bangkong?
2. Bagaimana cara memberdayakan masyarakat Bangkong?
TUJUAN
Dari rumusan permasalhan yang ada di atas, maka penulis mempunyai tujuan penulisan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui perekonomian masyarakat Bangkong.
2. Untuk mengetahui cara memberdayakan masyarakat Bangkong.
LUARAN YANG DIHARAPKAN
Masyarakat desa Bangkong sebagaian besar bermatapencaharian sebagai cleanning service di UNNES dengan penghasilan yang kurang mencukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Tanah didesa Bangkong sebenarnya masih luas dan subur, tetapi masyarakat desa Bangkong kurang dapat memanfaatkannya secaa optimal. Oleh sebab itu, peneliti bermaksud untuk memberdayakan masyarakat desa Bangkong dengan cara budidaya tanaman durian yang cocok ditanam di tanah mereka sehingga diharapkan nantinya dapat membantu perekonomian masyarakat desa Bangkong.
KEGUNAAN
1. Manfaat Praktis
Penelitian yang dilakukan ini memiliki manfaat praktis yaitu memberikan informasi bagi masyarakat desa khususnya masyarakat desa Bangkong dalam peningkatan perekonomian dengan membudidayakan durian di desa Bangkong.
2. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu-ilmu social lain khusunya sosiologi, serta dapat menambah wawasan dan informasi pada penelitian selanjutnya yang merasa tertarik dengan kajian-kajian tentang pemberdayaan masyarakat khususnya dalam bidang ekonomi.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Pemberdayaan
Konsep pemberdayaan lahir sebagai antitesis terhadap model pembangunan dan model industrialisasi yang kurang memihak pada rakyat mayoritas. Konsep ini dibangun dari kerangka logik sebagai berikut: (1) bahwa proses pemusatan kekuasan terbangun dari pemusatan penguasaan faktor produksi; (2) pemusatan kekuasaan faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat yang pengusaha pinggiran; (3) kekuasaan akan membangun bangunan atas atau sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum, dan ideologi yang manipulatif untuk memperkuat dan legitimasi; dan (4) kooptasi sistem pengetahuan, sistem hukum, sistem politik, dan ideologi, secara sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat berdaya dan masyarakat tunadaya.1 Akhirnya yang terjadi adalah dikotomi, yaitu masyarakat yang berkuasa dan manusia yang dikuasai. Untuk membebaskan situasi menguasai dan dikuasai, maka harus dilakukan pembebasan melalui proses pemberdayaan bagi yang dikuasai (empowerment of the powerless).
Pengalaman empirik dan pengalaman historis dari format sosial ekonomi yang dikotomis ini telah melahirkan berbagai pandangan mengenai pemberdayaan. Pandangan pertama, pemberdayaan adalah penghancuran kekuasaan atau power to nobody. Pandangan ini didasari oleh keyakinan, bahwa kekuasaan telah menterasingkan dan menghancurkan manusia dari eksistensinya. Oleh sebab itu untuk mengembalikan eksistensi manusia dan menyelamatkan manusia dari keterasingan dan penindasan, maka kekuasaan harus dihapuskan. Pandangan kedua, pemberdayaan adalah pembagian kekuasaan kepada setiap orang (power to everybody). Pandangan ini didasarkan pada keyakinan, bahwa kekuasaan yang terpusat akan menimbulkan abuse dan cenderung mengalienasi hak normatif manusia yang tidak berkuasa atau yang dikuasi. Oleh sebab itu, kekuasaan harus didistribusikan ke semua orang, agar semua orang dapat mengaktualisasikan diri. Pandangan ketiga, pemberdayaan adalah penguatan kepada yang lemah tanpa menghancurkan yang kuat. Pandangan ini adalah pandangan yang paling moderat dari dua pandangan lainnya. Pandangan ini adalah antitesis dari pandangan power to nobody dan pandangan power to everybody. Menurut pandangan ini, Power to nobody adalah kemustahilan dan power to everybody adalah chaos dan anarki. Oleh sebab itu menurut pandangan ketiga, yang paling realistis adalah power to powerless. Ketiga pandangan tersebut di atas, kalau dikaji secara seksama, ternyata berpengaruh cukup signifikan dalam konsep dan praksis pemberdayaan.
Di lapangan, paling tidak ada 3 konsep pemberdayaan.
1) Pemberdayaan yang hanya berkutat di ‘daun’ dan ‘ranting’ atau pemberdayaan konformis. Karena struktur sosial, struktur ekonomi, dan struktur ekonomi sudah dianggap given, maka pemberdayaan adalah usaha bagaimana masyarakat tunadaya harus menyesuaikan dengan yang sudah given tersebut. Bentuk aksi dari konsep ini merubah sikap mental masyarakat tunadaya dan pemberian santunan, seperti misalnya pemberian bantuan modal, pembangunan prasarana pendidikan, dan sejenisnya. Konsep ini sering disebut sebagai magical paradigm.
2) Pemberdayaan yang hanya berkutat di ‘batang’ atau pemberdayaan reformis. Artinya, secara umum tatanan sosial, ekonomi, politik dan budaya, sudah tidak ada masalah. Masalah ada pada kebijakan operasional. Oleh sebab itu, pemberdayaan gaya ini adalah mengubah dari top down menjadi bottom up, sambil mengembangkan sumberdaya manusianya, menguatkan kelembagaannya, dan sejenisnya. Konsep ini sering disebut sebagai naïve paradigm.
3) Pemberdayaan yang hanya berkutat di ‘akar’ atau pemberdayaan struktural. Karenatidakberdayanya masyarakat disebabkan oleh struktur politik, ekonomi, dan sosial budaya, yang tidak memberi ruang bagi masyarakat lemah untuk berbagi kuasa dalam bidang ekonomi, politik, dansosial budaya, maka stuktur itu yang harus ditinjau kembali. Artinya, pemberdayaan hanya dipahami sebagai penjungkirbalikan tatanan yang sudah ada. Semua tatanan dianggap salah dan oleh karenanya harus dihancurkan, seperti misalnya memfasilitasi rakyat untuk melawan pemerintah, memprovokasi masyarakat miskin untuk melawan orang kaya dan atau pengusaha, dan sejenisnya. Singkat kata, konsep pemberdayaan masyarakat yang hanya berkutat pada akar adalah penggulingan the powerful. Konsep ketiga ini sering disebut sebagai critical paradigm. Oleh Pranarka dan Moelyarto (1996), karena kesalah-pahaman mengenai pemberdayaan ini, maka menimbulkan pandangan yang salah, seperti bahwa pemberdayaan adalah proses penghancuran kekuasaan, proses penghancuran negara, dan proses penghancuran pemerintah.
Menurut Karl Marx, pemberdayaan masyarakat adalah proses perjuangan kaum powerless untuk memperolah surplus value sebagai hak normatifnya. Perjuangan memperoleh surplus value dilakukan melalui distribusi penguasaan faktor-faktor produksi. Dan perjuangan untuk mendistribusikan penguasaan faktor-faktor produksi harus dilakukan melalui perjuangan politik. Kalau menurut Marx, pemberdayaan adalah pemberdayaan masyarakat, maka menurut Fiedmann, pemberdayaan harus dimulai dari rumah tangga. Pemberdayaan rumah tangga adalah pemberdayaan yang mencakup aspek sosial, politik, dan psikologis. Yang dimaksud dengan pemberdayaan sosial adalah usaha bagaimana rumah tangga lemah memperoleh akses informasi, akses pengetahuan dan ketrampilan, akses untuk berpartisipasi dalam organisasi sosial, dan akses ke sumber-sumber keuangan. Yang dimaksud dengan pemberdayaan politik adalah usaha bagaimana rumah tangga yang lemah memiliki akses dalam proses pengambilan keputusan publik yang mempengaruhi masa depan mereka. Sedang pemberdayaan psikologis adalah usaha bagaimana membangun kepercayaan diri rumah tangga yang lemah. Selain Karl Marx dan Friedmann, masih banyak pandangan mengenai pengertian pemberdayaan, seperti Hulme dan Turner (1990), Robert Dahl (1963), Kassam (1989), sen dan Grown (1987), dan Paul(1987), yang pada prinsipnya adalah bahwa pemberdayaan adalah penguatan masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi masa depannya, penguatan masyarakat untuk dapat memperoleh faktor-faktor produksi, dan penguatan masyarakat untuk dapat menentukan pilihan masa depannya.
Dari berbagai pandangan mengenai konsep pemberdayaan, maka dapat disimpulkan, bahwa pemberdayaan ekonomi masyarakat adalah penguatan pemilikan faktor-faktor produksi, penguatan penguasaan distribusi dan pemasaran, penguatan masyarakat untuk mendapatkan gaji/upah yang memadai, dan penguatan masyarakat untuk memperoleh informasi, pengetahuan dan ketrampilan, yang harus dilakukan secara multi aspek, baik dari aspek masyarakatnya sendiri, mapun aspek kebijakannya.
Konsep pemberdayaan ekonomi secara ringkas dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Perekonomian rakyat adalah pereknomian yang diselenggarakan oleh rakyat. Perekonomian yang deselenggarakan oleh rakyat adalah bahwa perekonomian nasional yang berakar pada potensi dan kekuatan masyarakat secara luas untuk menjalankan roda perekonomian mereka sendiri. Pengertian rakyat adalah semua warga negara.
2. Pemberdayaan ekonomi rakyat adalah usaha untuk menjadikan ekonomi yang kuat, besar, modern, dan berdaya saing tinggi dalam mekanisme pasar yang benar. Karena kendala pengembangan ekonomi rakyat adalah kendala struktural, maka pemberdayaan ekonomi rakyat harus dilakukan melalui perubahan struktural.
3. Perubahan struktural yang dimaksud adalah perubahan dari ekonomi tradisional ke ekonomi modern, dari ekonomi lemah ke ekonomi kuat, dari ekonomi subsisten ke ekonomi pasar, dari ketergantungan ke kemandirian. Langkah-langkah proses perubahan struktur, meliputi: (1) pengalokasian sumber pemberdayaan sumberdaya; (2) penguatan kelembagaan; (3) penguasaan teknologi; dan (4) pemberdayaan sumberdaya manusia.
4. Pemberdayaan ekonomi rakyat, tidak cukup hanya dengan peningkatan produktivitas, memberikan kesempatan berusaha yang sama, dan hanya memberikan suntikan modal sebagai stumulan, tetapi harus dijamin adanya kerjasama dan kemitraan yang erat antara yang telah maju dengan yang masih lemah dan belum berkembang.
5. Kebijakannya dalam pembedayaan ekonomi rakyat adalah: (1) pemberian peluang atau akses yang lebih besar kepada aset produksi (khususnya modal); (2) memperkuat posisi transaksi dan kemitraan usaha ekonomi rakyat, agar pelaku ekonomi rakyat bukan sekadar price taker; (3) pelayanan pendidikan dan kesehatan; (4) penguatan industri kecil; (5) mendorong munculnya wirausaha baru; dan (6) pemerataan spasial
6. Kegiatan pemberdayaan masyarakat mencakup: (1) peningkatan akses bantuan modal usaha; (2) peningkatan akses pengembangan SDM; dan (3) peningkatan akses ke sarana dan prasarana yang mendukung langsung sosial ekonomi masyarakat lokal.
B. Budidaya Buah Durian
Durian adalah nama tumbuhan tropis yang berasal dari Asia Tenggara, sekaligus nama buahnya yang bisa dimakan. Nama ini diambil dari ciri khas kulit buahnya yang keras dan berlekuk-lekuk tajam sehingga menyerupai duri. Sebutan populernya adalah "raja dari segala buah" (King of Fruit), dan durian adalah buah yang kontroversial. Meskipun banyak yang menyukainya, sebagian yang lain muak dengan aromanya.
Sesungguhnya, tumbuhan dengan nama durian bukanlah spesies tunggal tetapi sekelompok tumbuhan dari marga Durio. Namun demikian, yang dimaksud dengan durian (tanpa imbuhan apa-apa) biasanya adalah Durio zibethinus. Jenis-jenis durian lain yang dapat dimakan dan kadangkala ditemukan di pasar tempatan di Asia Tenggara di antaranya adalah lai (D. kutejensis), kerantungan (D. oxleyanus), durian kura-kura atau kekura (D. graveolens), serta lahung (D. dulcis). Untuk selanjutnya, uraian di bawah ini mengacu kepada D. zibethinus.
METODE
Menurut Rachman (1997:71) bahwa penelitian di samping menggunakan metode yang tepat, juga perlu memilih teknik dan alat pengumpulan data yang relevan. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Observasi
Observasi merupakan pengamatan terhadap fenomena yang akan dikaji, dalam hai ini berarti peneliti terjun langsung dalam lingkungan masyarakat. Menurut Abdurrachman (Fathoni. 2004:104) pengamatan adalah tehnik pengumpulan data yang dilakukan melalui suatu pengamatan dengan disertai pencatatan-pencatatan terhadap keadaan atau perilaku ojek sasaran. Dengan metode observasi ini, peneliti mengadakan pengamatan secara langsung terhadap subjek yang diteliti dalam kurun waktu yang lama. Observasi dapat dilakukan melalui penglihatan, penciuman, pendengaran, peraba, dan pengecap (Arikunto, 1997:128). Teknik observasi menurut Arikunto adalah kegiatan yang memusatkan perhatian terhadap suatu objek menggunakan seluruh alat indera.
2. Wawancara
Menurut Koentjaraningrat, metode wawancara atau interview merupakan cara yang dipergunakan kalau seseorang mencoba mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari seorang responden, dengan bercakap-cakap dan berhadapan muka dengan orang tersebut. Sedangkan Moleong menyatakan wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh pihak pewawancara yang mengajukan pertanyaan pada terwawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.
Wawancara ini dipergunakan dalam penelitian untuk mendapatkan informasi mengenai kehidupan perekonomian yang ada di masyarakat Bangkong. Selain itu peneliti menggali informasi mengenai mata pencaharian masyarakat desa Bangkong agar dapat mengetahui potensi yang ada pada masyarakat tersebut.
3. PRA (Participatory Rural Appraisal)
PRA yang dikembangkan oleh Robert Chambers lebih ditujukan untuk ”orang luar”, bagaimana seharusnya ”orang luar”, yang membantu masyarakat untuk mengembangkan dirinya, mendudukkan posisinya ditengah tengah masyarakat. ”Orang luar” ini bisa para pegawai pemerintah, anggota LSM, orang orang Perguruan Tinggi dst. PRA itu sendiri menurutnya adalah metode yang mendorong masyarakat pedesaan/pesisir untuk turut serta meningkatkan pengetahuan dan menganalisa kondisi mereka sendiri, wilayahnya sendiri yang berhubungan dengan hidup mereka sehari hari agar dapat membuat rencana dan tidakan yang harus dilakukan, dengan cara pendekatan berkumpul bersama.
Prinsip Prinsip PRA
Berikut ini ada sekurang kurangnya 11 prinsip metode PRA yang aplikasinya akan disesuaikan dengan kondisi masyarakat desa Bangkong.
1) Mengutamakan Yang Terabaikan : Prinsip ini memiliki makna keberpihakan terhadap masyarakat yang terabaikan, termarjinalisasikan, mungkin tertindas atau terlindas oleh struktur. Sekelompok masyarakat seperti ini tidak boleh diabaikan oleh sekelompok masyarakat yang lain. Dalam masyarakat nelayan misalnya, bagaimanapun masyarakat nelayan memiliki tipologi seperti nelayan besar dan kecil atau ada majikan dan anak buah kapal. Dalam sebuah kelompok bagaimana menseimbangkan kedudukan antarmereka dalam sebuah kelompok sehingga mereka memiliki akses yang sama dalam hak. Golongan inilah yang paling memerlukan peningkatan dalam taraf hidup mereka sebab golongan ini biasanya adalah golongan masyarakat yang miskin secara ekonomi, meski mereka belum tentu miskin dalam pengalaman dan pengetahuan.
2) Penguatan Masyarakat : Penguatan masyarakat memiliki makna bahwa masyarakat memiliki kemampuan tidak hanya ekonomi akan tetapi juga sosial politik. Artinya, kekuatan ekonomi memungkinkan masyarakat tidak tergantung dengan orang luar, sedang kemampuan sosial politik memungkinkan masyarakat mampu membela haknya. Para kelompok nelayan harus kuat secara kelembagaan yang memberikan kekuatan secara ekonomi maupun politis. Selain itu mereka juga memiliki kemampuan untuk mengelola lingkungannya tanpa intervensi orang luar, bahkan mereka mampu mengadakan tawar menawar dengan orang luar. Dengan kemampuan ini mereka memiliki peluang, dan kontrol terhadap lingkungan serta mampu memberikan pertimbangan terhadap orang luar jika mereka mengarah pada proses perusakan lingkungan dari usaha mereka.
3) Masyarakat sebagai pelaku, orang luar sebagai fasilitator: Posisi orang luar hanya sebagai fasilitator artinya mereka mendorong proses perubahan secara partisipatif yang bersumber dari dalam diri masyarakat itu sendiri. Ada kalanya seorang fasilitator juga menjadi mediator terhadap kejadian konflik yang berlangsung dalam masyarakat. Peran fasilitator sebagai motivator adalah untuk mendorong semangat masyarakat untuk bekerja sama karena ada pengakuan eksistensi dari orang luar. Masyarakat sebagai pelaku dalam pembangunan memiliki arti bahwa mulai dari mengidentifikasi masalah sampai dengan prencanaan kegiatan dan imlementasinya dilakukan oleh masyarakat. Ada kelemahan dari masyarakat pada umumnya yakni mereka tidak memiliki jaringan sosial yang luas, terutama jaringan kerjasama dengan kelompok lain yang lebih luas sebagai kesatuan komunitas. Kalau hal ini ada hanyalah dilakukan oleh individu individu tertentu yang bukan menjadi asetnya kelompok. Fasilitaor dapat mengambil peran ini yakni sebagai orang berusaha menghubungankan antarmasyarakat dengan orang luar yang diperlukan. Misalnya, ketika para nelayan terjebek oleh tengkulak sehingga terpaksa mereka menjual hasil tangkapan dengan harga rendah, maka fasilitator bisa menghubungkan dengan pedagang alternatif untuk mengangkat nasib mereka.
4) Saling Berlajar dan Menghargai Perbedaan: Prinsip ini lebih mengutamakan hubungan antar orang luar yang berperan sebagai fasilitator dengan kelompok masyarakat yang difasilitasinya. Orang luar yang memfasilitasi kelompok nelayan perlu mengerti kebudayaan dan cara berfikir masyarakat setempat. Dengan cara ini seorang fasilitator atau orang luar berusaha belajar terhadap lingkungan setempat yang kemungkinan besar ada hal yang tidak terpikrkan oleh orang luar, akan tetapi hal itu muncul sebagai teknologi maupun pengetahuan lokal. Pada tingkat ini ada prinsip bahwa kelompok masyarakat belajar dengan orang luar dan sebaliknya. Kemampuan untuk memahami perbedaan ini lah menjadi hal penting yang harus dimiliki oleh para fasilitator atau orang luar.
5) Santai dan informal : Kegiatan yang dilakukan baik orang luar bekerja sama dengan masyarakat setempat maupu antar masyarakat setempat adalah memerlukan situsi santai, tidak formal, luwes dan fleksibel. Situasi ini sangat umum berlangsung dalam kelompok nelayan, petani dan seterusnya. Beginilah pada umumnya suasana desa nelayan atau pedalaman itu berlangsung. Melalui suasana infrmal seperti ini semua persoalan dapat diungkapkan dengan baik meskipun sering kali juga ada perbedaan pandangan antaranggota masyarakat. Kedatangan orang luar sering disambut dengan sikap formal masyarakat yang seringkali menjadi kaku. Fasilitator harus mampu membuat suasana santai informal dan akrab dengan masyarakat.
6) Trianggulasi : Prinsip ini lebih berhubungan dengan perolehan informasi. Adakalanya informasi yang dikemukakan oleh individu ada kemungkinan tidak dibenarkan menurut kelompok. Ada kemungkinan juga informasi yang diberikan kelompok tidak cocok dengan realitas. Oleh sebab itu prinsip trianggulasi merupakan tidakan untuk mengontrol sumber informasi. Dalam masyarakat nelayan misalnya kalau juragan mengemukakan informasi maka tingkat subyektivitasnya juga tinggi mana kala berkenaan dengan kepentingan para juragan itu. Demikian juga dengan kelompok yang lain. Karena sumber informasi itu banyak maka kebenaran informasi itu perlu dicari melalui berbagai pihak dengan cara cross check.
7) Optimalisasi Hasil : Optimalisasi hasil sangat berkaitan dengan informsi yang dikumpulkannya. Karena banyaknya informasi yang dikumpulkan seringkali informasi itu sulit dianalisis. Oleh sebab itu dalam hal seperti ini para pemandu atau fasilitator perlu mengajak mereka untuk mengklasifikasikan secara bersama sama informasi yang telah diperolehnya. Ada baiknya bahwa informasi yang dikumpulkan adalah sangat erat kaitanya dengan masalah yang ingin dipecahkan secara bersama sama sehingga informasi yang dikumpulkan sangat optimal. Banyaknya informasi bukan berarti buruk akan tetapi banyaknya informasi jangan sampai mengganggu pencapaian tujuan.
8) Orientasi praktis : Artinya bahwa program program yang dikembangkan dengan metode PRA ini lebih berorientasi pada pemecahan masalah secara praktis. Misalnya saja apa yang menjadi masalah nelayan, potensi (kemampuan manusia atau kelompok untuk mengerakkan perubahan )apa yang dimiliki, tersedianya potensi pendukung lain atau tidak, yang kemungkinan berada pada kelompok lain atau daerah lain, ada tidaknya sumber yang dimiliki dst dan program program yang dirancang memecahkan kebutuhan banyak pihak atau tidak.
9) Keberlanjutan : Dalam kehidupan masyarakat masalah ekonomi itu berkembang terus, artinya selama manusia itu ada maka masalah tidak pernah akan selesai. Oleh karenannya program yang dirancang oleh masyarakat untuk memecahkan persoalan mereka adalah berkesinambungan dan memungkinkan mengantisipasi munculnya masalah dikemudian hari.
10) Belajar dari kesalahan. Dalam PRA kesalahan itu wajar dan sangat manusiawi, oleh sebab itu perencanaan program jangan terlalu sulit sehingga masyarakat tidak mampu memenuhinya. Dalam menyusun kegiatan bukan juga hal yang bersifat coba coba akan tetapi telah mempertimbangkan banyak hal termasuk tentang kesalahan.
11) Terbuka : Dalam PRA sangat memungkinkan ketidak sempurnaan oleh sebab itu keterbukaan atas tanggapan orang lain terhadap kegiatan PRA ini sangat positif sebab disdari bahwa disetiap metode tidak pernah ada yang berlangsung dengan sempurna.
Metode PRA dikembangkan berdasarkan atas prinsip dan teknik yang harus dikuasai oleh para fasilitator atau pemandu seperti halnya bagaimana pemandu melakukan model partisipatif dalam penjaringan informasi dan seterusnya. Pendek kata PRA bukan sesuatu harga mati, yang penerapanya banyak improvisasi sesuai dengan kondisi masyarakat yang ada. Melalui metode PRA juga, peneliti ikut terjun atau berpartisispasi langsung dalam pembudidayaan durian dalam upaya pemberdayaan masyarakat Bangkong sendiri. Dengan demikian, peneliti disini bukan hanya sebatas peneliti saja tetapi juga sebagai fasilitator dan partisipan di dalam pemberdayaan masyarakat desa Bangkong.
PENUTUP
Kesimpulan
Konsep pemberdayaan masyarakat ini, dapat disimpulkan, bahwa:
1. Pemberdayaan masyarakat tidak dapat dilakukan hanya melalui pendekatan daun saja, atau cabang saja, atau batang saja, atau akar saja; karena permasalahan yang dihadapi memang ada pada masing-masing aspek;
2. Pemberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi, tidak cukup hanya dengan pemberian modal bergulir, tetapi juga harus ada penguatan kelembagaan ekonomi masyarakat, penguatan sumberdaya manusianya, penyediaan prasarananya, dan penguatan posisi tawarnya;
3. Pemberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi atau penguatan ekonomi rakyat, harus dilakukan secara elegan tanpa menghambat dan mendiskriminasikan ekonomi kuat; untuk itu kemitraan antar usaha mikro, usaha kecil usaha menengah, dan usaha besar adalah jalan yang harus ditempuh;
4. Pemberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi adalah proses penguatan ekonomi rakyat menuju ekonomi rakyat yang kokoh, modern, efisien; dan (5) pemberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi, tidak dapat dilakukan melalui pendekatan individu, melainkan harus melalui pendekatan kelompok.
Saran:
DAFTAR PUSTAKA
Sumidiningrat, Gunawan (1999). Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengaman Sosial. Gramedia; Jakarta.
http://www.kmsgroups.com/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=9
Read more: Membuat Readmore Otomatis di Blog
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar