VARIAN SANTRI
KONSERVATIF LAWAN MODERN: LATAR BELAKANG IDEOLOGI
Kaum konservatif dan modernis, pada masanya bermusuhan hingga akhirnya membagi islam menjadi dua golongan. Kaum modernis sering mencemooh kepercayaan kaum konservatif. Dalam pandangan kaum modernis, takdir cenderung makin sempit, hingga hanya mencakup kejadian-kejadian yang jelas berada di luar kemampuan manusia. Tradisi slametanpun sudah tidak ada sama sekali, berbeda dengan konservatif yang masih melakukan slametan. Bagi kedua kelompok itu, ajaran islam adalah dasar yang fundamental untuk perilaku manusia dalam semua aspeknya.
Pandangan pihak kolot pada pertrntangan yang keempat, menitikberatkan kepada kesempurnaan agama, terfokus pada berkah dengan ketenangan batin dan sikap yang relative toleran terhadap upacara abangan. Sedangkan pihak modernis, menekankan kerja keras, kemurnian agama, dan perhatian terhadap kemajuan sosial. Perbedaan kedua kelompok di atas terlihat pada kesenian yang lebih dominan pada masyrakat modernis.
ISLAM KONSERVATIF DAN MODERN DAN PANDANGAN TRADISIONAL JAWA.
Dilihat dari tradisi dan struktur sosial masyarakat jawa, orang jawa sukar untuk menjadi muslim sejati. Kekhasan, kedahsyatan, dan kemuliaan Allah, moralitas yang intens, pegangan yang kuat terhadap doktrin, dan eklusivisnyayang tak toleran merupakan bagian dari islam sangatlah asing bagi pandangan tradisional orang jawa.
POLA ORGANISASI INTERN. KOMUNITI SANTRI
Ada dua partai besar kaum santri yaiti Masyumi – Muhammadiyah yang dianggap progresif, dan NU yang dianggap konservatif. Kedua partai tersebut dianggap organisasi sosial persaudaraan, rekreasi, dan keagamaan. Dimana ikatan kekeluargaan mendesak masyarakat untuk mendukung partainya. Menjadi anggota suatu partai politik islam, berarti mengikat diri kepada salah satu penafsiran doktrin islam.
KEPEMIMPINAN POLITIK RELIGIUS
Kepemimpinan NU, yang menjadi konflik adalah memilih antara kebutuhan memenuhi tuntutan pengikut kolot atau tuntutan suatu partai politik modern agar bisa bersaing secara efektif.
Kepemimpinan Masyumi – Muhammadiyah yang menjadi konflik adalah keinginan untuk memodernisasikan islam dan kebutuhan untuk menjamin bahwa ini tidak akan menuju sekularisme.
KEGIATAN POLITIK KEAGAMAAN
Selalu diadakan rapat kerja sebulan atau dua bulan sekali dengan kepala pimpinan. Anggotanyapun biasanya berkeliling ke desa-desa untuk berpidato. Diadakan rapat massa dipusat kota tentang partai politiknya, NU dan Muhammadiyah sangat berkepentingan dengan masalah komunis antar orang islam. Rapat massa di kotaa biasanya bersifat politis dan denogogis. Hal ini merupakan pola umum yang tidak hanya berlaku dalam partai santri saja.
ORGAINISASI POLITIK KEAGAMAAN
Organisasi petani dan serikat buruh, organisasi gadis-gadis muda desa, dan lainnya tidak berkembang dengan baik. Masyumi adalah organisasi yang berkembang dengan baik karena pemimpinnya adalah orang berpendidikan. Kaum santri sebagian besar merupakan “kelas menengah” dan secara politis mengarah ke kanan, atau menyerupai sebuah buruh yang didukung oleh partai Republik di Amerika Serikat.
KONSERVATIFV LAWAN MODERN: OPOSISI YANG BERIMBANG
Terjadinya permusuhan kalangan non-santri dan santri hingga menyebabkan integrative diantara kelompok Masyumi – Muhammadiyahdan NU untuk mengatasi bahaya dari luar. Dengan berjalannya waktu partai-partai politik menjadi semaikn penting karena merupakan dasar organisasi sosial bagi kaum santri, menggantikan ikatan kedaerahan yang cenderung berkurang dengan adanya ideologi.
SISTEM PENDIDIKAN SANTRI
Dalam kehidupan santri, pusat dari system sekolah tradisional disebut dengan pondok / pesantren, dimana terdapat pimpinan yang disebut Kyai. Bangunan pokoknya yaitu masjid, rumah kyai, sederet asrama untuk para santri. Kegiatan yang dilakukan oleh para santri seperti pengajian dan pembacaan kitab alqur’an hingga mereka tamat yang disebut dengan “kataman”.
Para kyai, tabib, penasihat, guru, dan cendekiawan adalah orang yang palingg tinggi prestinya dikalangan umat. Status keagamaan dn kekayaan menyatu menghasilkan kelas ahli agama yangmenetukan doktrin dan memegang kekuasaan. Bentuk utama mistik yang ada di lingkungan santri adalah persaudaraan orang-orang tua yang berkerumunan di sekitar kyai yang ahli ilmu mistik dengan santri yang lebih muda. Ada 4 teori perkembangan mistik, yaitu:
1. Sarengat, yaitu menjalankan kewajiban-kewajiban islam yang lazim
2. Tarekat, yiatu teknik mistik yang khusus
3. Hakekat, yaitu kebenaran / kenyataan
4. Ma’rifat.
Mata pelajaran dalam pondok besar yaitu fiqih, tasawuf, tauhid, nahwu, falaq, akhlaq, tarikh, tafsir, dan hadist.
Mulai muncul sekolah sekuler oleh sekolah-sekolah NU yang disebut Madarasah. Pelajaran agama yang ada yaitu fiqih, tauhid, dan sebagainya kecuali tasawuf. Sedangkan pelajaran sekuler meliputi almu ukur, aljabar, bahsa inggris, bahasa Indonesia, paedogogik, pendidikan jasmani, pengetahuan umum, tata buku, dan ilmu bumi. Pola pelajarannya 60 % umum dan 40 % agama. Sekolah lanjutan dianggap sebagai jantung program Muhammadiyah. Sekolah Menegah Pertama Muhammadiyah sebanding dengan sekolah lanjutan Pertama di Amerika. Muhammadiyah membuka sendiri sekolah-sekolah guru yakni sebagian mata pelajaran pendidikan. Pengurus sekolah mengajak seorang priyayi yang berkompeten dan berdidikasi dalam system sekolah negeri.
Muhammadiyah merupakan golongan santrii yang paling berhasil dalam memberikan pendidikan kepada umat islam, terutama di Mojukuto dalam mengenai maslah sosial, tetapi kecenderungannya selalu meniru system sekolah negeri yang dominan dengan segala kekuatan dan kekurangan.
PELAKSANAAN HUKUM ISLAM : ISLAM DAN NEGARA DI MOJOKUTO
Organisasi umum kementrian agama
Tujuan departemen agama adalah mengurus kaum santri disemua kalangan. Menteri agama adalah seorang anggota Masyumi atau NU dalam suatu cabinet. Fungsi informal departeman agama adlah memberi pekerjaan kepada orang islam. Biro urusan agama mengurus pelaksanaan hukum perkawinan, perceraian, serta hukum yang berhubungan dengan lembaga keagamaan.
Jawatan pendidikan agma bersangkut paut dengan pelajaran agama, pemberian subsidi ke sekolah-sekolah swasta, menyelenggarakan sekaolah agama negeri, dan sebagainya. Jawatan penerangan agama berhubungan dengan penyebaran pamphlet, brosur, dan sebagainya. Jawatan peradilan agama mengatur pengadilan agama yang berfungsi menyelesaikan permasalahan agama.
Oragnisasi lokal departemen agama
Terdapat kantor agama yang disebut dengan KUA dimana dikepalai Naib. Tigas Naib meliputi pengarahan umum dari kantor serta perkawinan dan perceraian. Naib dibantu khotib yang bertugas memberikan keterangan mengenai hukum islam kepada orang islam. Imam berfungsi memimpin upacara-upacara agama. Mukadin bertugas memamnggil umat. Merbot bertugas membersihkan masjid, kantor, dan ketib klerek kantor.
Perkawinan dan perceraian
Menurut hukum islam, laki-laki yang akan menceraikan istrinya harus mengucapkan talaq. Jika sekali, maka bisa dirubah dan tiga kali bisa dirujuk. Jika talaq tersebut sudah dijatuhkan dan tidak ada usaha untuk rujuk dalam masa 3X menstruasi, maka terjadi perceraian.
Yayasan keagamaan dan naik haji
Suatu yayasan keagamaan disebut wakaf yang diberikan oleh kyai setempat kepada naib untuk menjadi pelksana (Najir). Wakaf tidak terkena pajak, tapi hanya hasilnya saja yang terkena pajak.
Pengorganisasian ibadah haji ditangani oleh kantor kabupaten, sementyara Naib hanya mengurus statistic jumlah haji. Ibadah haji di atur oleh departemen agama. Tapi tahun 1930, haji sudah tidak popular lagi mereka berasumsi bahwa untuk belajar islam tidak perlu ke Mekkah.
Propaganda keagamaan dan pejabat keagamaan desa
Kepentingan departemen agama dilaksanakan oleh Modin yang dipilh seumur hidup. Untuk menjadi Modin, harus menempuh ujian mengenai hukum islam. Modin dibawah dua departemen, yaitu:
1. Departemen dalma negeri sebagai pegawai desa
2. Departemen agama sebagai pejabat keagamaan desa.
Depatemen agama dan partai politik santri
Masalah yang berhubungan dengan birokrasi keagamaan, yaitu:
1. Birokrasi partai dalam kehidupan santri
2. Perumusan islam dengan perhatian politik keagamaan antara gereja dan Negara.
Kyai pondokk tidak mau bekerja sama dengan pemerintah karena cenderung sekuler dimana mereka adlah priyayi bukan santri. Selain itu juga, syarat yang harus dipenuhi lembaga untuk memperoleh subsidi membatasi kebebasan pribadi mereka. Mereka mengharapkan adanya “Negara islam” yang didominasi kyai.
Negara islam : pendekatan santri terhadap maslah gerja dan Negara
Masalah departemen agama pada umunya adalah masalah kaum terpelajar barat dirumuskan sebagai hubungan antara gereja dan Negara. Semboyan Darul I-Islam diambil kaum santri fundamentalis dan terikat oleh metode parlementer untuk mencapai tujuan mereka. Kaum modernis menyetujui Negara islam tetapi cenderungg membatasinya sampai pada pernyataan sebuah Negara islam secara umum dan suatu ketentuan konstitusional.
Tahun 1954, Departemen agama merupakan semacam “Negara Islam sementara”. Tapi para pemimipin partai dan guru agama khawatir karena ceenderung menjadi “tetap” dalam hal yang bersifat pemerintah akan mengurangi dasar perjuangan untuk “Negara Islam”. Kaum santri tidak bisamendukung pemishan terbuka antara islam dan pemerintahan sekuler. Kaum santri bersedia meneriam penyatuan Gereja – Negara untuk melayani kepentingan kaum santri.
POLA IBADAH SANTRI
1. Sembahyang
Bentuk solat orang islam yaitu wudhu, sujud, dan bacaan.
Pola sembahyang sudah tidak teratur seperti di desa karena orang kota lebih mengutamakan pekerjaannya.
Menurut kaum santri, dengan sembahyang maka akan menyeleraskan dalam penyesuain dengan kehidupan sehari-hari. Sembahyang merupakan semacam reflex ritual yang menjamin kesejahteraan material maupun spiritual.
Sembahynag jum’at berjamaah mencerminkan lembaga kebersamaan umat seluruh desa dan perasaan memilki masjid sendiri. Kebnayakan masjid yang konservatif, enggan melakukan khotbah yang sudah diterjemahkan sehingga menggunakan khutbah bahasa arab. Materi khotbahpun berisi tentang maslah sosial dan politik.
2. Puasa
Ketika bulan puasa datang, makakegiatan sekulerpun mulai dikendorkan. Bulan puasa dianggap sebagai bulan keagamaan yang dipandang istimewa disbanding dengan bulan lain.
Dosa di bulan puasa lebih berat disbanding bulan-bulan lain.
Ada kewajiban membayar zakat fitrah (pajak keagamaan) untuk menghapuskan dosa yang dilakukan.
Muhammadiyah tidakmelakukan drusan (mengaji alqur’an) karena menganggap itu adalah pola kolot.
Ada solat idul fitri sebagai klimaks dari bulan puasa.
Golongan santri harus berpuasa karena adnaya 3 alasan:
1) Menunujkan ketaatan kepada Tuhan
2) Latihan moral bagi kuam santri
3) Latihan rihani seperti halnya latihan jasmani
Tibanya riyaya, orang-orang membeli pakaian baru, berkunjung ke teman, dan mempersiapkan pesta diman hal tersebur serupa dengan hari paskah.
Para santri menganggap bahwa, riyaya bukanlah hari basar santri. Riyaya adalah hari yang dirayakan orang jawa, tak peduli apapunagam dan kepercayaannya.
REFERENSI:
ABANGAN, SANTRI, DAN PRIYAYI DALAM MASYARAKAT JAWA. CLIFFORD GEERTZ.
READMORE - Bentang sosial budaya masyarakat jawa
Read more: Membuat Readmore Otomatis di Blog
Cari Blog Ini
Minggu, 04 Desember 2011
Jumat, 02 Desember 2011
Teori Sosiologi Modern
Teori konflik
1. Ralf Dahrendrof
Teori Fungsionalisme Teori Konflik
Masyarakat itu statis atau masyarakat berada dalam keadaan berubah secara seimbang.
Menekankan keteraturan masyarakat.
Setiap elemen masyarakat berperan dalam menjaga stabilitas.
Masyarakat secara informal diikat oleh norma, nilai, dan moral.
Memusatkan perhatian pada kohesi yang diciptakan oleh nilai bersama masyarakat (consensus) Tiap masyarakat tunduk pada proses perubahan
Melihat pertikaian dan konflik dalam system sosial
Berbagai element kemasyarakatan menyumbangkan terhadap disintegrasi dan perubahan
Aturan berasal dari pemaksaan terhadap anggota yang berada di atas (penguasa)
Peran kekuasaan sebagai pertahanan ketertiban dalam masyarakat.
Dari table di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat senantiasa dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus-menerus di antara unsure-unsurnya (teori konflik).
Dahrendrof melihat bahwa masyarakat mempunyai dua bagian yaitu teori konflik dan teori consensus. Teori consensus mengkaji nilai intelegensi dalammasyarakat sedangkan teori konflik menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan yang structural terhadap masyarakat bersama tekanan tersebut. Dahrendrof mengakui juga bahwa pertukaran masyarakat tak aka nada tanpa consensus dan konflik yang menjadi sebab persyaratan satu sama lain.
Menurut Dahrendrof, analisis konflik adalah mengidentifikasikan berbagai peran otoritas di dalam masyarakat. Otoritas tidak terletak di dalam diri individu tetapi di dalam posisi. Kelompok yang memegang posisi otoritas dan kelompok subordinat mempunyai kepentingan tertentu yang arah dan substansinya saling bertentangan. Artinya disini ada penguasa (superordinat) dan yang dikuasai (subordinat). Tiga tipe kelompok menurut dahrendrof:
a. Kelompok semu
b. Kelompok kepentingan
c. Kelompok konflik
2. LEWIS A. COSER, The Function of social Conflict.
Fungsi konflik:
a. Sebagai alat untuk memperat ikatan kelompok yang terstruktur secara longgar.
Disini ada pemeliharaan solidaritas di antara dua kelompok yang berkonflik. Masyarakat yang mengalami disintergrasi atau berkonflik dengan masyarakat lain dapat memperbaiki kepaduan integrasi.
b. Memabntu menciptakan kohesi melalui aliensi dengan kelompok lain.
Contoh: konlik dengan arab menimbulkan aliensi antara Israel dengan amerika serikat. Berkurangnya konflik Israel denagn arab mungkin dapat memperlemah hubungan antara Israel dan Amerika Serikat.
c. Mengaktifkan peran individu yng semula terisolasi
d. Komunikasi
e. Dapat memungkinkan pihak yang bertikai menemukan ide yang lebih mengenai kekuatan relative mereka dan meningkatkan kemungkinan untuk saling mendekati atau saling berdamai.
REFERENSI:
Ritzer, George. 2005. Teori sosiologi Modren. Edisi keenam. Jakarta: Prenada Media.
READMORE - Teori Sosiologi Modern
Read more: Membuat Readmore Otomatis di Blog
Antropologi Indonesia
Ketika Multikulturalisme Menjadi Sebuah Masalah
Kesadaran multikultur sebenarnya sudah muncul sejak Negara Republik Indonesia terbentuk. Pada masa Orde Baru, kesadaran tersebut dipendam atas nama kesatuan dan persatuan. Paham monokulturalisme kemudian ditekankan. Akibatnya sampai saat ini, wawasan multikulturalisme bangsa Indonesia masih sangat rendah. Ada juga pemahaman yang memandang multikultur sebagai eksklusivitas. Multikultur justru disalahartikan yang mempertegas batas identitas antar individu. Bahkan ada yang juga mempersoalkan masalah asli atau tidak asli.
Multikultur baru muncul pada tahun 1980-an yang awalnya mengkritik penerapan demokrasi. Pada penerapannya, demokrasi ternyata hanya berlaku pada kelompok tertentu. Wacana demokrasi itu ternyata bertentangan dengan perbedaan-perbedaan dalam masyarakat. Cita-cita reformasi untuk membangun Indonesia Baru harus dilakukan dengan cara membangun dari hasil perombakan terhadap keseluruhan tatanan kehidupan yang dibangun oleh Orde Baru.
Inti dari cita-cita tersebut adalah sebuah masyarakat sipil demokratis, adanya dan ditegakkannya hukum untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat Indonesia. Bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi atau perombakan tatanan kehidupan Orde Baru adalah sebuah “masyarakat multikultural Indonesia” dari puing-puing tatanan kehidupan Orde Baru yang bercorak “masyarakat” (plural society) sehingga corak masyarakat Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika bukan lagi keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaannya tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.
Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mozaik. Di dalam mozaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti sebuah mozaik tersebut. Model multikulturalisme ini sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi “Kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah”.
Hal yang harus kita waspadai adalah munculnya perpecahan etnis, budaya dan suku di dalam tubuh bangsa kita sendiri. Bangsa Indonesia yang kita ketahui bersama memiliki bermacam-macam kebudayaan yang dibawa oleh banyak suku, adat-istiadat yang tersebar di seluruh Nusantara. Dari Sabang sampai Merauke kita telah banyak mengenal suku-suku yang majemuk, seperti; Suku Jawa, Suku Madura, Suku Batak, Suku Dayak, Suku Asmat dan lainnya. Yang kesemuanya itu mempunyai keunggulan dan tradisi yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Begitu kayanya bangsa kita dengan suku, adat-istiadat, budaya, bahasa, dan khasanah yang lain ini, apakah benar-benar menjadi sebuah kekuatan bangsa ataukah justru berbalik menjadi faktor pemicu timbulnya disintegrasi bangsa. Seperti apa yang telah diramalkan Huntington, keanekaragaman di Indonesia ini harus kita waspadai. Karena telah banyak kejadian-kejadian yang menyulut kepada perpecahan, yang disebabkan adanya paham sempit tentang keunggulan sebuah suku tertentu.
Paham Sukuisme sempit inilah yang akan membawa kepada perpecahan. Seperti konflik di Timur-Timur, di Aceh, di Ambon, dan yang lainya. Entah konflik itu muncul semata-mata karena perselisihan diantara masyarakat sendiri atau ada “sang dalang” dan provokator yang sengaja menjadi penyulut konflik. Mereka yang tidak menginginkan sebuah Indonesia yang utuh dan kokoh dengan keanekaragamannya. Untuk itu kita harus berusaha keras agar kebhinekaan yang kita banggakan ini tak sampai meretas simpul-simpul persatuan yang telah diikat dengan paham kebangsaan oleh Bung Karno dan para pejuang kita.
Hal ini disadari betul oleh para founding father kita, sehingga mereka merumuskan konsep multikulturalisme ini dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Sebuah konsep yang mengandung makna yang luar biasa. Baik makna secara eksplisit maupun implisit. Secara eksplisit, semboyan ini mampu mengangkat dan menunjukkan akan keanekaragaman bangsa kita. Bangsa yang multikultural dan beragam, akan tetapi bersatu dalam kesatuan yang kokoh. Selain itu, secara implisit “Bhineka Tunggal Ika” juga mampu memberikan semacam dorongan moral dan spiritual kepada bangsa indonesia, khusunya pada masa-masa pasca kemerdekaan untuk senantiasa bersatu melawan ketidakadilan para penjajah. Walaupun berasal dari suku, agama dan bahasa yang berbeda.
Kemudian munculnya Sumpah Pemuda pada tahun 1928 merupakan suatu kesadaran akan perlunya mewujudkan perbedaan ini yang sekaligus dimaksudkan untuk membina persatuan dan kesatuan dalam menghadapi penjajah Belanda. Yang kemudian dikenal sebagi cikal bakal munculnya wawasan kebangsaan Indonesia. Multikulturalisme ini juga tetap dijunjung tinggi pada waktu persiapan kemerdekaan, sebagaimana dapat dilihat, antara lain dalam sidang-sidang BPUPKI. Betapa para pendiri republik ini sangat menghargai pluralisme, perbedaan (multikulturalisme). Baik dalam konteks sosial maupun politik. Bahkan pencoretan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta, pun dapat dipahami dalam konteks menghargai sebuah multikulturalisme dalam arti luas.
Kemudian sebuah ideologi yang diharapkan mampu menjadi jalan tengah sekaligus jembatan yang menjembatani terjadinya perbedaan dalam negara Indonesia. Yaitu Pancasila, yang seharusnya mampu mengakomodasi seluruh kepentingan kelompok sosial yang multikultural, multietnis, dan agama ini. Termasuk dalam hal ini Pancasila haruslah terbuka. Harus memberikan ruang terhadap berkembangannya ideologi sosial politik yang pluralistik. Pancasila adalah ideologi terbuka dan tidak boleh mereduksi pluralitas ideologi sosial-politik, etnis dan budaya. Melalui Pancasila seharusnya bisa ditemukan sesuatu sintesis harmonis antara pluralitas agama, multikultural, kemajemukan etnis budaya, serta ideologi sosial politik, agar terhindar dari segala bentuk konflik yang hanya akan menjatuhkan martabat kemanusiaan itu.
Akhir-akhir ini, intensitas dan ekstensitas konflik sosial di tengah-tengah masyarakat terasa kian meningkat. Terutama konflik sosial yang bersifat horisontal, yakni konflik yang berkembang di antara anggota masyarakat, meskipun tidak menutup kemungkinan timbulnya konflik berdimensi vertikal, yakni antara masyarakat dan negara. Konflik sosial dalam masyarakat merupakan proses interaksi yang alamiyah. Karena masyarakat tidak selamanya bebas konflik. Hanya saja, persoalannya menjadi lain jika konflik sosial yang berkembang dalam masyarakat tidak lagi menjadi sesuatu yang positif, tetapi berubah menjadi destruktif bahkan anarkis.
Perkembangan terakhir menunjukkan pada kita, sejumlah konflik sosial dalam masyarakat telah berubah menjadi destruktif bahkan cenderung anarkhis. Kasus Ambon, Poso, Maluku, GAM di Aceh, dan berbagai kasus yang menyulut kepada konflik yang lebih besar dan berbahaya. Konflik sosial berbau SARA (agama) ini tidak dianggap remeh dan harus segera diatasi secara memadai dan proporsional agar tidak menciptakan disintergrasi nasional. Banyak hal yang patut direnungkan dan dicermati dengan fenomena konflik sosial tersebut. Apakah fenomena konflik sosial ini merupakan peristiwa yang bersifat insidental dengan motif tertentu dan kepentingan sesaat, ataukah justru merpakn budaya dalam masyarakat yang bersifat laten. Realitas empiris ini juga menunjukkan kepada kita bahwa masih ada problem yang mendasar yang belum terselesaikan. Menyangkut penghayatan kita terhadap agama sebagai kumpulan doktrin di satu pihak dan sikap keagamaan yang mewujud dalam prilaku kebudayaan di pihak lain.
Kemajemukan masyarakat lokal seperti itu bukan saja bersifat horisontal (perbedaan etnik, agama dan sebagainya), tetapi juga sering berkecenderungan vertikal, yaitu terpolarisasinya status dan kelas sosial berdasar kekayaan dan jabatan atau pekerjaan yang diraihnya. Dalam hal yang pertama, perkembangan ekonomi pasar membuat beberapa kelompok masyarakat tertentu, khususnya dari etnik tertentu yang memiliki tradisi dagang, naik peringkatnya menjadi kelompok masyarakat yang menimbulkan kecemburuan sosial masyarakat setempat yang mandeg perkembangannya. Dalam hal kedua, kelompok masyarakat etnis dan agama tertentu, yang semula berada di luar mainstream, yaitu berada di pinggiran, mulai menembus masuk ke tengah mainstream. Hal ini dapat menimbulkan gesekan primordialistik, apalagi bila ditunggangi kepentingan politik dan ekonomi tertentu seperti terjadi di Ambon, Poso, Aceh dan lainnya .
Upaya Bersama di Dalam Menyikapi Sebuah Multikulturalisme
Dengan menjalankan asas gerakkan multikulturalisme menjadi sebuah ideologi yang dianggap mampu menyelesaikan berbagai masalah yang berkaitan dengan Multikulturalisme. Yaitu dengan asas-asas sebagai berikut:
a) Manusia tumbuh dan besar pada hubungan sosial di dalam sebuah tatanan tertentu, dimana sistem nilai dan makan di terapkan dalam berbagai simbol-simbol budaya dan ungkapan-ungkapan bangsa.
b) Keanekaragaman Budaya menunjukkan adanya visi dan sisitem makan tang berbeda, sehingga budaya satu memrlukan budaya lain. Dengan mempelajari kebudayaanlain, maka akan memperluas cakrawala pemahaman akan makna multikulturalisme
c) Setiap kebudayaan secara Internal adalah majemuk, sehingga dialog berkelanjutan sangat diperlukan demi terciptanya persatuan.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah menumbuhkan integrasi nasional melalui revitalisasi gagasan (mutualisme, musyawarah dan mufakat, kesetaraan) dan nilai-nilai agama (kasih sayang, damai, keadilan dan persatuan) dalam ruang lingkup pergaulan sesama anak bangsa. Memang tidak mudah bagi bangsa yang pluralistik dan multikultural untuk menjaga integrasi nasional, namun hal tersebut tetap dapat dilakukan. Hal-hal yang harus kita lakukan adalah:
a. Meningkatkan pemahaman tentang multikulturalisme Indonesia.
Perlu dilakukan penumbuhan rasa saling memiliki aset-aset nasional yang berasal dari nilai-nilai adiluhung bangsa Indonesia, khususnya dari suku-suku bangsa, sehingga mendorong terbentuknya shared property dan shared entitlement. Artinya upaya membuat seseorang dari kawasan Barat Indonesia dapat menghargai, menikmati dan merasakan sebagai milik sendiri berbagai unsur kebudayaan yang terdapat di kawasan Timur Indonesia, dan demikian pula sebaliknya.
b. Setiap program pembangunan hendaknya mengemban misi menciptakan dan menyeimbangkan mutualisme sebagai wujud doktrin kebersamaan dalam asas kekeluargaan (mutualism and brotherhood) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian strategi dan kebijakan pembangunan, khususnya strategi dan kebijakan budaya, harus bertolak dan berorientasi pada upaya memperkokoh persatuan Indonesia melalui upaya menumbuhkan mutualisme antar komponen bangsa dan di tingkat grass-roots.
READMORE - Antropologi Indonesia
Read more: Membuat Readmore Otomatis di Blog
Langganan:
Postingan (Atom)